caleg bekasi 2019 - Mendekati musim Penentuan Umum (Pemilu) 2019, beberapa parpol bersama-sama mendaftar kadernya untuk turut beradu di Pileg 2019 yang akan datang. Akan tetapi tahukah kamu, menjadi seseorang anggota dewan memerlukan cost yang banyak? Akan tetapi ada pula yang menggunakan trick ‘irit’ nyaleg tak perlu keluarkan harga tinggi.
Dalam kata lainnya, walau mempunyai potensi dengan intelektual, tetapi tidak disertai dengan potensi keuangan, maka susah untuk dipilih.
Salah satunya akan caleg (Bacaleg) DPR RI, Amir Uskara tidak menolak perihal itu. Dia mengakui kembali maju menjadi wakil rakyat sebab pengalamannya menjadi politisi ikut didukung finansial.
“Artinya mesti miliki pengalaman. Jika finansial, semua calon legislatif tentu perlukan,” singkat politisi PPP itu.
Wakil Ketua DPRD Sulsel, Ni’matullah menjelaskan bila cost jadi calon legislatif bisa jadi mahal serta murah, bergantung dari calegnya sendiri. “Tergantung langkah calegnya. Saya dua periode belum pernah keluarkan cost besar,” tuturnya.
Ketua DPD Demokrat Sulsel ini mengatakan, menjadi wakil rakyat serta nada tinggi tak perlu keluarkan harga tinggi. Akan tetapi mesti lakukan pendekatan emosinal pada penduduk baik itu sebelum dipilih serta sudah dipilih tiada melupakan mereka.
“Kita cuma rajin komunikasi. Berjumpa dengan penduduk tiap-tiap ada waktu kosong. Alhamdulillah saya rajin berjumpa dengan mereka serta saya masih tetap optimistis dapat dipilih,” tuturnya.
Ketua Bawaslu Sulsel, Laode Arumahi menjelaskan, trent politik uang yang diketemukan saat Pemilihan kepala daerah Serentak 2018 bertambah. Perihal ini bisa jadi berefek di Pileg 2019. Oleh karenanya, katanya, Bawaslu selalu lakukan pengawasan untuk menahan politik uang waktu Pileg kelak.
“Jika dilewatkan, ini dapat memberikan indikasi citra negatif. Kami dengan optimal lakukan mencegah money politic yang masif,” tutur Laode.
Menurut dia, politik uang buat politisi sebagai calon legislatif tidak hanya adalah pelanggaran hukum ikut pelanggaran kepribadian sosial. “Ini ialah pengalaman pada Pemilihan kepala daerah 2018,” tuturnya.
Diluar itu, lanjut Laode, berkaca pada Pemilihan kepala daerah 2018, penduduk menjadi pemilih telah pintar serta menghormati hak pilihnya. “Mereka tidak ingin jual hak pilihnya, serta yang memberikan malah dikasih sangsi politik dengan tidak memilihnya serta pilih paslon lainnya yang dipandang baik,” tuturnya.
Laode ikut sudah memerintah pada jajarannya untuk lakukan mencegah, pengawasan, serta pengusutan pada parpol serta calon legislatif dalam lakukan publikasi.
“Kami akan mengamati aksi kampanye yang dikerjakan partai politik sebelum waktu kampanye. Seperti iklan, pemasangan alat peraga, dan pekerjaan publikasi partai politik yang menyertakan pihak lainnya,” tegas Laode.
Direktur Konsultas Politik, Konsentrasi Pemilu, Zulfinas menjelaskan, menjadi calon legislatif diperlukan gabungan pada modal politik, modal sosial serta modal ekonomi. Ke-3 aspek ini yang begitu memengaruhi seseorang Calon legislatif untuk mendapatkan suport pemilih.
“Modal sosial serta modal politik ini pasti tidak dapat instan sebab memerlukan waktu yang panjang buat Calon legislatif dalam bangun eksistensinya lewat kegiatan sosial kemasyarakatan dan jaringan,” katanya.
Berkaitan dengan modal ekonomi atau yang dapat dimaksud dengan biaya politik tidak dapat dijauhi untuk dialokasikan pada pekerjaan penyiapan alat peraga kampanye, publikasi, pertemuan hanya terbatas, operasional team dan sumbangan untuk pekerjaan lainnya.
“Berdasarkan pengalaman jadi pemantau, penyelenggara serta konsultan sampai kini, jadi untuk Pemilu 2019 buat Calon legislatif DPRD kabupaten/kota diperlukan cost sekitat Rp500 juta, DPRD propinsi sekitar Rp1,5 miliar serta DPR RI Rp 5 miliar,” tuturnya.
Sesaat Ahli Politik Kampus Bosowa (Unibos) Arief Wicaksono menjelaskan, cost untuk maju menjadi calon legislatif begitu relatif. Bergantung dari calon legislatif itu dalam lakukan publikasi di penduduk. Apa calon legislatif memakai pendekatan dengan emosional atau memakai mahar untuk memperoleh simpati penduduk.
“Biaya jadi calon legislatif sebetulnya dapat murah, modalnya simpel, dekat dengan penduduk. Pro aktif jemput bola permasalahan yang berada di penduduk. Jika ada masukan penduduk, calon legislatif langsung mengusahakan jalan keluar tak perlu menanti sikap partai atau komisi di parlemen,” kata Arief.
Tetapi, kata Arief, bila lalu dalam sebenarnya cost jadi calon legislatif mahal atau begitu mahal, itu bukan sebab penduduk yang tidak yakin kembali atau apatis pada kelembagaan politik di legislatif. Akan tetapi sebab calegnya yang kurang dapat mengasah kepekaan pada kebutuhan penduduk.
“Jadi janganlah di balik asumsinya. Nalar perwakilan dalam demokrasi ya harusnya calon legislatif yang mendekat, dengar, terima masukan atau keinginan penduduk, bukan malah penduduk yang perlu mendekat lewat cara berdemonstrasi atau membuat kerusuhan cuma untuk mengundang perhatian calon legislatif supaya selekasnya memfollow-up permasalahan,” terangnya.
Arief menyatakan, penilaian yang tempatkan penduduk menjadi object penting politik transaksional tidak adil. Sebab penilaian itu akan condong berkesimpulan jika jalinan calon legislatif dengan penduduk di dapilnya seperti lingkaran setan yang tidak berbuntut.
“Padahal kita semua paham jika benang kusutnya berada di calon legislatif partai politik serta atau aktor-aktor yang berada di kelembagaan politik legislatif,” pungkasnya.